Menjejak Senyap di Puncak Lembah Ramma

Kabut masih menggantung tipis ketika saya menginjakkan kaki dan menjejak senyap di Lembah Ramma. Pukul 01.30 siang. Suara-suara obrolan pelan para pendaki lain bersatu dengan desir angin yang menggigilkan tulang.
Di antara rasa lelah dan kantuk, saya menatap ke timur menanti momen yang membuat tempat ini disebut, “Lembah Ramma di atas awan”. Perlahan, langit berubah. Warna biru pekat menjadi jingga keemasan.
Siluet, cahaya matahari pagi menari di antara kabut, memantul di permukaan telaga di bawah sana. Seorang pendaki di samping saya berbisik, “Ini sunrise terbaik yang pernah saya lihat.” Saya mengangguk. Bukan karena keindahannya semata, tapi karena ada rasa hening dan takjub yang tak bisa dijelaskan.

Di bawa kaki Lembah Ramma, waktu seolah berjalan lebih lambat. Tak ada sinyal kuat, tak ada bising kota, hanya alam dan kita. Anak-anak kecil desa sekitar menyapa ramah, menawarkan teh hangat dan mie rebus dengan harga sederhana. Mereka menyambut wisatawan bukan sebagai pelanggan, tapi sebagai tamu yang dihormati.